Wacana tentang
perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013
akhirnya sampai juga pada fase uji publik dan telah berlangsung sejak awal semester ini di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut hemat saya, pemerintah (Kemdiknas) telah melibatkan semua
lapisan masyarakat dalam perbaikan penyusunan draft kurikulum. Karena
sebelumnya dalam pengembangan kurikulum, pemerintah hanya melibatkan para
pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan saja.
Melalui uji publik, diharapkan mencuat berbagai saran
dan masukan dari berbagai kalangan agar bisa dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam penyusunan draft sebelum mencapai fase akhir. Tujuannya
adalah agar produk kurikulum yang dihasilkan dapat mengakomodasi harapan semua
pihak. Kebijakan pemerintah seperti ini jelas sangat layak diapresiasi. Jadi,
draft kurikulum tersebut tidak hanya dirumuskan dari belakang meja yang
kemudian dipaksakan pelaksanaannya oleh para pelaku dan praktisi pendidikan.
Namun bisa menyentuh harapan orang bawah sehingga implemetasinya bisa lebih
jelas dan terarah.
Kurikulum
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (UU No.20 th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Perubahan kurikulum mengindikasikan dunia pendidikan
itu dinamis. Konsep kurikulum berkembang sejalan
dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan,
juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianut oleh
pakarnya. Perubahan dan pengembangan kurikulum dianggap sebagai salah satu titik
krusial di dalam penanganan masalah-masalah pendidikan, khususnya pendidikan
formal. Jika dunia pendidikan tidak ingin terjebak dalam stagnasi, maka
semangat perubahan harus terus dihembuskan. Kita berharap perubahan kurikulum ini
tidak hanya sebagai peramping materi ajar semata, akan tetapi juga harus mampu
menjawab tantangan dari berbagai polemik yang terjadi di dunia pendidikan.
Saya pribadi termasuk orang yang setuju dengan adanya
perubahan kurikulum. Sejak diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) tahun 2006, yang merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) tahun 2004, tetap menitikberatkan isinya pada peningkatan kemampuan
dan kompetensi peserta didik. Namun kenyataannya capaian kompetensi peserta
didik malah semakin tidak jelas dan tidak terarah. Penyebabnya adalah evaluasi
hasil belajar yang dilakukan guru selama ini hanya terfokus pada aspek kognitif
saja, sehingga aspek psikomotorik dan afektif senantiasa terabaikan. Padahal
aspek afektif inilah yang lebih menentukan kualitas peserta didik. Untuk itu
sudah sepatutnya seorang guru harus proporsional dalam menilai ketiga aspek
tersebut, agar tujuan pendidikan terlaksana dengan baik. Penyebab lain yakni beragamnya
kompetensi guru diberbagai daerah dan wilayah yang menafsirkan dan mengimplementasikan kurikulum 2006 sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Dampaknya, peningkatan mutu kompetensi peserta didik
semakin sulit terstandarisasi. Dengan diserahkannya penyusunan dan pengembangan
kurikulum kepada satuan pendidikan, budaya kopi-paste kurikulum (Silabus dan
RPP) semakin menggejala di kalangan guru dan kepala sekolah. Walaupun tidak
semua guru dan kepala sekolah melakukan hal serendah itu, akan tetap berimbas
pada matinya potensi-potensi yang ada pada peserta didik, dikarenakan kurikulum
yang diterapkan tidak melalui proses adaptasi dan tidak sesuai dengan
lingkungan peserta didik itu sendiri.
Kurikulum 2006 memang sudah saatnya direvisi agar
selaras dengan tantangan zaman dan perkembangan IPTEK. Jika kurikulum 2006
terus dipaksakan pelaksanaannya, maka akan semakin sulit mengetahui bagaimana
mutu pendidikan dan kualitas output dunia pendidikan di Indonesia ini. Dampak
langsungnya tentu pada outcomenya yang semakin diragukan lantaran para lulusan
yang lahir dari dunia pendidikan sangat “miskin” kompetensi. Guru, sebagai
aktor utama dalam implementasi kurikulum memang harus benar-benar disiapkan
sedini mungkin. Semua guru yang tersebar di seluruh penjuru negeri harus
benar-benar diberdayakan jauh sebelum kurikulum 2013 benar-benar
diimplementasikan. Mereka harus diberi pemahaman tentang isi kurikulum dan
bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Sikap abai pemerintah
terhadap upaya pemberdayaan guru akan berdampak serius terhadap kemajuan dunia pendidikan.
Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin Kurikulum 2013 akan mengalami
stagnasi seperti halnya KTSP untuk kemudian terpuruk di tengah dinamika pendidikan
dan peradaban.
Dari segi konsep, draft Kurikulum 2013 cukup
ideal untuk mampu melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas
otaknya, tetapi juga cerdas emosi, sosial, dan spiritualnya. Pendekatan pembelajaran
yang digunakan dengan mengajak siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru
berdasarkan pengalaman belajar yang mereka dapatkan dari kelas, lingkungan sekolah,
dan masyarakat juga akan mampu mendekatkan peserta didik pada kultur masyarakat
dan bangsanya. Sekali lagi, dari sisi konsep, draft Kurikulum 2013 sangat tepat
diterapkan ketika dunia pendidikan kita tengah mengalami mati suri seperti saat
ini. Meskipun demikian, draft yang bagus hanya akan berada pada tataran konsep
apabila tidak diimbangi dengan pemberdayaan para pemangku kepentingan pendidikan,
khususnya guru.
Idealnya guru harus dijadikan sebagai “aktor
utama” dalam implementasi Kurikulum 2013. Mereka harus benar-benar disiapkan
secara matang, mulai dari penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, penilaian, analisis, hingga tindak lanjutnya. Hanya dengan
memberdayakan pemangku kepentingan utama inilah implementasi kurikulum dapat
berlangsung seperti yang diharapkan. Sebagai tambahan, para stakeholder kurikulum 2013 terlalu menitikberatkan pencapaian pada bidang agama dan budi pekerti dalam setiap KI yang diusung, sehingga penekanan tersebut seakan mengeyampingkan sisi nasionalisme dari kompetensi yang hendaknya ada di dalam diri setiap warga negara terutama peserta didik yang sejatinya dibina sejak dini. Harapan saya, pemerintah sudah sepatutnya mengkaji ulang komponen-komponen KI yang ada dan menambahkan "NASIONALISME" kedalam kompetensi inti yang harus dicapai oleh peserta didik nantinya. Karena bangsa yang besar adalah bangsa dimana seluruh rakyatnya memiliki semangat nasionalisme yang besar pula. Jangan sampai satu per satu warga negara kita mengganti kewarganegaraannya hanya karena mereka sudah tidak lagi mencintai Indonesia (apapun alasannya).