Saturday, October 4, 2014

KI-Nasionalisme untuk Kurikulum 2013


Wacana tentang perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013 akhirnya sampai juga pada fase uji publik dan telah berlangsung sejak awal semester ini di berbagai daerah di Indonesia. Menurut hemat saya, pemerintah (Kemdiknas) telah melibatkan semua lapisan masyarakat dalam perbaikan penyusunan draft kurikulum. Karena sebelumnya dalam pengembangan kurikulum, pemerintah hanya melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan saja.

Melalui uji publik, diharapkan mencuat berbagai saran dan masukan dari berbagai kalangan agar bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan draft sebelum mencapai fase akhir. Tujuannya adalah agar produk kurikulum yang dihasilkan dapat mengakomodasi harapan semua pihak. Kebijakan pemerintah seperti ini jelas sangat layak diapresiasi. Jadi, draft kurikulum tersebut tidak hanya dirumuskan dari belakang meja yang kemudian dipaksakan pelaksanaannya oleh para pelaku dan praktisi pendidikan. Namun bisa menyentuh harapan orang bawah sehingga implemetasinya bisa lebih jelas dan terarah.

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan  kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No.20 th. 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional). Perubahan kurikulum mengindikasikan dunia pendidikan itu dinamis. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianut oleh pakarnya. Perubahan dan pengembangan kurikulum dianggap sebagai salah satu titik krusial di dalam penanganan masalah-masalah pendidikan, khususnya pendidikan formal. Jika dunia pendidikan tidak ingin terjebak dalam stagnasi, maka semangat perubahan harus terus dihembuskan. Kita berharap perubahan kurikulum ini tidak hanya sebagai peramping materi ajar semata, akan tetapi juga harus mampu menjawab tantangan dari berbagai polemik yang terjadi di dunia pendidikan. 

Saya pribadi termasuk orang yang setuju dengan adanya perubahan kurikulum. Sejak diluncurkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, yang merupakan pengembangan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, tetap menitikberatkan isinya pada peningkatan kemampuan dan kompetensi peserta didik. Namun kenyataannya capaian kompetensi peserta didik malah semakin tidak jelas dan tidak terarah. Penyebabnya adalah evaluasi hasil belajar yang dilakukan guru selama ini hanya terfokus pada aspek kognitif saja, sehingga aspek psikomotorik dan afektif senantiasa terabaikan. Padahal aspek afektif inilah yang lebih menentukan kualitas peserta didik. Untuk itu sudah sepatutnya seorang guru harus proporsional dalam menilai ketiga aspek tersebut, agar tujuan pendidikan terlaksana dengan baik. Penyebab lain yakni beragamnya kompetensi guru diberbagai daerah dan wilayah yang menafsirkan dan  mengimplementasikan kurikulum 2006 sesuai dengan kompetensi masing-masing. Dampaknya, peningkatan mutu kompetensi peserta didik semakin sulit terstandarisasi. Dengan diserahkannya penyusunan dan pengembangan kurikulum kepada satuan pendidikan, budaya kopi-paste kurikulum (Silabus dan RPP) semakin menggejala di kalangan guru dan kepala sekolah. Walaupun tidak semua guru dan kepala sekolah melakukan hal serendah itu, akan tetap berimbas pada matinya potensi-potensi yang ada pada peserta didik, dikarenakan kurikulum yang diterapkan tidak melalui proses adaptasi dan tidak sesuai dengan lingkungan peserta didik itu sendiri.

Kurikulum 2006 memang sudah saatnya direvisi agar selaras dengan tantangan zaman dan perkembangan IPTEK. Jika kurikulum 2006 terus dipaksakan pelaksanaannya, maka akan semakin sulit mengetahui bagaimana mutu pendidikan dan kualitas output dunia pendidikan di Indonesia ini. Dampak langsungnya tentu pada outcomenya yang semakin diragukan lantaran para lulusan yang lahir dari dunia pendidikan sangat “miskin” kompetensi. Guru, sebagai aktor utama dalam implementasi kurikulum memang harus benar-benar disiapkan sedini mungkin. Semua guru yang tersebar di seluruh penjuru negeri harus benar-benar diberdayakan jauh sebelum kurikulum 2013 benar-benar diimplementasikan. Mereka harus diberi pemahaman tentang isi kurikulum dan bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran. Sikap abai pemerintah terhadap upaya pemberdayaan guru akan berdampak serius terhadap kemajuan dunia pendidikan. Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin Kurikulum 2013 akan mengalami stagnasi seperti halnya KTSP untuk kemudian terpuruk di tengah dinamika pendidikan dan peradaban.

Dari segi konsep, draft Kurikulum 2013 cukup ideal untuk mampu melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga cerdas emosi, sosial, dan spiritualnya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan mengajak siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan baru berdasarkan pengalaman belajar yang mereka dapatkan dari kelas, lingkungan sekolah, dan masyarakat juga akan mampu mendekatkan peserta didik pada kultur masyarakat dan bangsanya. Sekali lagi, dari sisi konsep, draft Kurikulum 2013 sangat tepat diterapkan ketika dunia pendidikan kita tengah mengalami mati suri seperti saat ini. Meskipun demikian, draft yang bagus hanya akan berada pada tataran konsep apabila tidak diimbangi dengan pemberdayaan para pemangku kepentingan pendidikan, khususnya guru.

Idealnya guru harus dijadikan sebagai “aktor utama” dalam implementasi Kurikulum 2013. Mereka harus benar-benar disiapkan secara matang, mulai dari penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian, analisis, hingga tindak lanjutnya. Hanya dengan memberdayakan pemangku kepentingan utama inilah implementasi kurikulum dapat berlangsung seperti yang diharapkan. Sebagai tambahan, para stakeholder kurikulum 2013 terlalu menitikberatkan pencapaian pada bidang agama dan budi pekerti dalam setiap KI yang diusung, sehingga penekanan tersebut seakan mengeyampingkan sisi nasionalisme dari kompetensi yang hendaknya ada di dalam diri setiap warga negara terutama peserta didik yang sejatinya dibina sejak dini. Harapan saya, pemerintah sudah sepatutnya mengkaji ulang komponen-komponen KI yang ada dan menambahkan "NASIONALISME" kedalam kompetensi inti yang harus dicapai oleh peserta didik nantinya. Karena bangsa yang besar adalah bangsa dimana seluruh rakyatnya memiliki semangat nasionalisme yang besar pula. Jangan sampai satu per satu warga negara kita mengganti kewarganegaraannya hanya karena mereka sudah tidak lagi mencintai Indonesia (apapun alasannya).

Sunday, September 28, 2014

STUDI ISLAM INTERDISIPLINER


STUDI ISLAM INTERDISIPLINER

I.            PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.