Sunday, September 28, 2014

STUDI ISLAM INTERDISIPLINER


STUDI ISLAM INTERDISIPLINER

I.            PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.

Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

II.            PEMBAHASAN
A.    Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam
Studi Islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta abadi. Untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya atau dunia modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut maka studi Islam akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya relevan yaitu pendekatan kesejarahan, kefilsafatan dan pendekatan ilmiah. Namun demikian, sifat studi Islam ini adalah memadukan antara studi Islam yang bersifat konvensional dengan studi Islam yang bersifat ilmiah, sehingga pendekatan doktriner tidaklah dapat diabaikan.[1]
1.      Pendekatan Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
2.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan yang melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Akan tetapi, tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis, yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian, filsafat menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya, yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern, sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.

3.      Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ini bertujuan untuk meninjau dan menganalisis suatu permasalahan atau objek studi dengan menggunakan metode ilmiah secara umum. Diantara ciri pokok pendekatan ilmiah adalah terjaminnya objektivitas dan keterbukaan dalam studi. Objektivitas suatu studi akan terjamin jika kebenarannya bisa dibuktikan dan didukung oleh data empiris, konkret dan rasional. Sedangkan keterbukaan adalah suatu studi terjadi jika kebenarannya bisa dilacak oleh siapa saja dan didasarkan atas keyakinan-keyakinan tertentu yang bias dipertanggung jawabkan. Di samping itu pendekatan ilmiah selalu siap dan terbuka menerima kritik terhadap kesimpulan studinya.
4.      Pendekatan Doktriner
Pendekatan doktriner atau pendekatan studi Islam secara konvensional merupakan pendekatan studi di kalangan umat Islam. Agama Islam yang dijadikan sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari illahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut, mutlak dan universal. Pendekatan doktriner tersebut juga berasumsi bahwa ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang pada masa salaf, yang menimbulkan berbagai madzhab keagamaan, baik teologis maupun hukum-hukum fiqih, yang kemudian dianggap sebagai doktrin-doktrin yang tetap dan baku. Sesudah masa itu, studi Islam berlangsung secara doktriner sehingga ajaran Islam menjadi bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi tampak seperti ketinggalan zaman.
Dari keempat pendekatan di atas timbul suatu metode studi Islam secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1.      Metode Diakronis
Suatu metode yang mempelajari Islam dengan menonjolkon aspek sejarah, metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan tentang hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian, dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, serta latar belakang masyarakat, sejarah dan budaya di samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.
2.      Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode yang mempelajari Islam, yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.[2]
Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:[3]
a.       Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia.
b.      Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
c.       Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur yang unik.
d.      Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron: 104)
e.       Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengan jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)

3.      Metode Problem Solving (hill al musykilat)
Metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.
4.      Metode Empiris (tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam, dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif tersebut dapat dirumuskan kedalam suatu sistem norma baru.[4]
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:[5]
a.       Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (QS. Ali Imron: 104)
b.      Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
c.       Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura: 13).
d.      Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
e.       Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)

5.      Metode Deduktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
6.      Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu.
Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
a.       Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
b.      Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
c.       Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
d.      Implikasi formulasi yang baru tersebut.




B.     Rumpun Keilmuan Berdasarkan Filsafat Ilmu
Beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya tentang filsafat ilmu adalah:[6]
1.      Musa Asy’ari
Filsafat ilmu merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat ilmu yang tidak hanya dialektik, pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
2.      Amin Abdullah
Beliau berkata “saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa filsafat Islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran muslim yang ditempeli begitu saja dengan konsep filsafat Yunani”.
Berdasarkan pendapat di atas, filsafat dapat diketahui melalui lima cirri, yaitu: dilihat dari segi sifat dan contohnya, dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya, dilihat dari segi datangnya, dilihat dari segi yang mengembangkannya, dan dilihat dari segi kedudukannya.


C.    Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam
1.      Studi Islam Lewat Pendekatan Filsafat
Studi Islam Interdisipliner merupakan pengembangan dan penjabaran dari tiga topik yaitu pendekatan filsafat, sosiologi dan sejarah yang penekanannya lebih diarahkan pada aspek aplikasinya. Studi Islam lewat pendekatan filsafat menjabarkan tentang Iblis dan kontroversi penafsiran klasik dan modern sebagai berikut:
Kontroversi penafsiran tentang iblis dalam al-Quran berawal dari rencana Tuhan untuk menciptakan dan mempersiapkan seorang khalifah di bumi. Dalam al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 30-34, dijelaskan, kisah iblis pada awalnya menggambarkan narasi penciptaan Adam yang oleh tuhan dianggap sebagai “the only one caliph on the earth”. Amanah kekhalifahan ini rupanya kurang mendapat simpatik di kalangan malaikat karena itu mereka “memprotes” dan “menolak” kebijakan tersebut. Menurut Syeikh Musthafa al-Maraghi, perbedaan persepsi di kalangan ulama mengenai ayat ini berkisar pada dua hal: pertama, iblis adalah sejenis jin yang berada di tengah ribuan malaikat, berbaur dengan sifat dari sebagian sifat mereka. Kedua, iblis itu dari malaikat karena perintah sujud di sini tertuju pada malaikat karena zahir ayat yang serupa bahwa ia tergolong mereka.
Dalam wacana tafsir klasik dan modern, persoalan pertama yang muncul ketika memperbincangkan eksistensi iblis itu adalah makna sujud, yasjudu. Terhadap kata ini semua mufasir baik klasik dan modern sependapat bahwa makna kata sujud yang dimaksud adalah sujud tahiyyat, penghormatan, bukan sujud dalam pengertian ibadah atau menghambakan diri pada Adam. At-tabari dan ar-Razi menafsirkan kata iblis pada ayat yasjudu berasal dari jenis malaikat. Mereka berpendapat demikian dengan alasan bahwa kata “istisna”, semua malaikat sujud pada Adam kecuali iblis menunjukkan makna bahwa iblis itu berasal dari jenis mereka (malaikat).[7]

2.      Studi Islam Lewat Pendekatan Sosiologi
Salah satu implikasi teologis terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, sebagai contoh mengenai wanita. Wanita Islam dalam kontekstual adalah munculnya rasa takut dan berdosa bagi kaum wanita bila ingin “menggugat” dan menolak penafsiran atas diri mereka yang tidak hanya disubordinasikan dari kaum laki-laki, tetapi juga dilecehkan hak dan martabatnya. Akibatnya secara sosiologis mereka terpaksa menerima kenyataan-kenyataan diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan, terutama dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah karena tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita separuh harga laki-laki; ketiga, wanita boleh diperistri hingga empat; keempat: wanita tidak bisa menjadi pemimpin negara.[8]
Dalam kejadian wanita, kata nafs pada surat An-nisa: 1, tidak ditafsirkan Adam, seperti anggapan mufasir tradisional, sebab konteks awal turunnya ayat ini tidak hanya bermaksud menolak atau mengklaim tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina, tapi juga sekaligus mengangkat harkat dan martabat mereka, sebagaimana terlihat pada ayat sesudahnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan konteks ayat ini, maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis sebagaimana dipahami para mufasir modern, bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jenis yang sama.
Dalam hal lain, ketika surat an-Nisa:3 berbicara tentang poligami dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, peran inti yang dikemukakan sebenarnya adalah keadilan bukan semata-mata pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawini laki-laki. Oleh karena itu tuntutan keadilan kualitatif beristri pada saat ini adalah satu saja dan saling melengkapi bukan sebaliknya melecehkan haknya. Hal yang sama berlaku ketika al-Qur’an surat an-Nisa’:7 berbicara tentang ketentuan waris untuk anak laki-laki dan wanita. Konteks masa itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara laki-laki dan wanita, karena wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tapi diwariskan dan al-Qur’an mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang diterima laki-laki. Sekarang konteksnya telah berbeda dimana wanita telah banyak diberikan hak dan kebebasan oleh al-Qur’an.
Demikian pula terhadap persoalan tidak bolehnya wanita menjadi kepala negara. Larangan ini bersumber dari hadist yang diriwayatkan Bukhori ahmad nasa’I dan At-turmudzi tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita “Berdasarkan konteks hadis tersebut maka selama dalam suatu negara dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing yang pada akhirnya dapat lebih mudah memajukan negaranya dan menyelamatkan dari mala petaka, maka tidak ada halangan bagi seorang wanita menjadi menteri/kepala negara.

3.      Studi Islam Lewat Pendekatan Sejarah
Pada abad XIX terjadi pergeseran kekuasaan. Runtuhnya kekuasaan Islam telah mengubah hubungan Islam dengan barat. Pandangan umat Islam terhadap barat dan tanggapan mereka terhadap kekuasaan dan gagasan barat sangat variatif, mulai dari penolakan-konfrontatif hingga kekaguman dan peniruan. Eropa tidak hanya datang dengan tentara dan birokratnya, tetapi juga bersama para misionaris. Ancaman ganda kolonialisme adalah kekuasaan salib. Bantu membantu antara para pendeta dengan pemerintah dan militer dinyatakan oleh Marsekal Bugeud dari Perancis, bahwa para pendeta membantu kita mengambil hati orang-orang Arab yang akan kita serbu dengan kekuatan militer. Kejadian yang sama terjadi juga di Indonesia. Sikap Belanda terhadap Islam tidak tetap. Di satu pihak, Islam dilihat sebagai agama dan katanya pemerintah netral dalam hal ini. Sebaliknya pemerintah Belanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan lebih banyak memberi kelonggaran kepada kalangan Kristen, termasuk bantuan uang.[9]

III.            PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Islamic Studies atau Pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua, seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan model ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya. Studi Islam Interdisipliner merupakan metode pendekatan yang penekanannya lebih diarahkan pada aspek aplikasinya, tetapi sekaligus menggambarkan betapa kajian tentang Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru, bagi aplikasi metodologi dari disiplin keilmuan lain.







[1] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 27-51
[2] Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: CV. Qalam  Yogyakarta, 2004), h.22
[3] Muhamimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), h.45
[4] Lukman S Thahir, Op Cit, h.25
[5] Muhamimin, Op Cit, h. 47
[6] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Cet.9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 20
[7] Ibid, h. 25
[8] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), h. 35
[9] Khuailid, Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam (Makalah Metodologi Studi Islam), (Program PascaSarjana STAIN Cirebon, 2009), h. 12

0 comments:

Post a Comment