STUDI
ISLAM INTERDISIPLINER
I.
PENDAHULUAN
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan.
Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam
pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks.
Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana
seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem
budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan
dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek,
karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti
disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu
sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama,
sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan
pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai
lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang
kemudian memunculkan orientalisme.
Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu
dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek:
sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat
pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan
kajian intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai
sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai
sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama
empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu
menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik,
ekonomi dan budaya.
II.
PEMBAHASAN
A.
Metode dan Pendekatan dalam Studi Islam
Studi Islam bertujuan untuk menggali kembali
dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber
dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta abadi. Untuk
dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya atau dunia modern, agar mampu
memberikan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada
umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan tujuan tersebut maka studi Islam
akan menggunakan cara pendekatan yang sekiranya relevan yaitu pendekatan
kesejarahan, kefilsafatan dan pendekatan ilmiah. Namun demikian, sifat studi
Islam ini adalah memadukan antara studi Islam yang bersifat konvensional dengan
studi Islam yang bersifat ilmiah, sehingga pendekatan doktriner tidaklah dapat
diabaikan.[1]
1.
Pendekatan
Historis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu
permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta
menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau
histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian
masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu
tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli
sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya
dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat
mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini
maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan
perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari
ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan
dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
2.
Pendekatan
Filosofis
Pendekatan yang melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan
filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan
menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk
memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Akan tetapi, tidak
semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat.
Filsafat adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal. Di samping
itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang
permasalahan yang bersifat filosofis, yakni bidang yang terletak diantara dunia
ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian,
filsafat menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat
keagamaan (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan).
Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang
datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang
sebenar-benarnya, yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan dan
menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu
pengetahuan modern, sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan
umat selama ini.
3.
Pendekatan
Ilmiah
Pendekatan ini bertujuan untuk meninjau dan menganalisis suatu
permasalahan atau objek studi dengan menggunakan metode ilmiah secara umum.
Diantara ciri pokok pendekatan ilmiah adalah terjaminnya objektivitas dan
keterbukaan dalam studi. Objektivitas suatu studi akan terjamin jika
kebenarannya bisa dibuktikan dan didukung oleh data empiris, konkret dan
rasional. Sedangkan keterbukaan adalah suatu studi terjadi jika kebenarannya
bisa dilacak oleh siapa saja dan didasarkan atas keyakinan-keyakinan tertentu
yang bias dipertanggung jawabkan. Di samping itu pendekatan ilmiah selalu siap
dan terbuka menerima kritik terhadap kesimpulan studinya.
4.
Pendekatan
Doktriner
Pendekatan doktriner atau pendekatan studi Islam secara
konvensional merupakan pendekatan studi di kalangan umat Islam. Agama Islam yang
dijadikan sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan
doktrin-doktrin yang berasal dari illahi yang mempunyai nilai (kebenaran)
absolut, mutlak dan universal. Pendekatan doktriner tersebut juga berasumsi
bahwa ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang pada
masa salaf, yang menimbulkan berbagai madzhab keagamaan, baik teologis maupun
hukum-hukum fiqih, yang kemudian dianggap sebagai doktrin-doktrin yang tetap
dan baku. Sesudah masa itu, studi Islam berlangsung secara doktriner sehingga
ajaran Islam menjadi bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi tampak
seperti ketinggalan zaman.
Dari keempat pendekatan di atas timbul suatu metode studi Islam
secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Metode
Diakronis
Suatu metode yang mempelajari Islam dengan menonjolkon aspek
sejarah, metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparasi tentang
berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat
Islam memiliki pengetahuan yang relevan tentang hubungan sebab akibat dan
kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan
mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran
Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode
pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian, dengan melihatnya
sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu,
tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau
kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan
penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan
as-Sunnah, serta latar belakang masyarakat, sejarah dan budaya di samping sirah
nabi SAW dengan segala alam pikirannya.
2.
Metode
Sinkronis-Analitis
Suatu metode yang mempelajari Islam, yang memberikan kemampuan
analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental
intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif
praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.[2]
Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi
dasar sebagai berikut:[3]
a.
Islam
adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya
cipta dan rasa manusia.
b.
Islam
adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
c.
Islam
merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta
komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu
struktur yang unik.
d.
Wajib
bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron:
104)
e.
Wajib
bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengan jalan yang
hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)
3.
Metode
Problem Solving (hill al musykilat)
Metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih
menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan
solusinya.
4.
Metode
Empiris (tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari
ajarannya melalui proses realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma
dan kaidah Islam, dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi
sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif tersebut dapat dirumuskan
kedalam suatu sistem norma baru.[4]
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar
sebagai berikut:[5]
a.
Norma
(ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam
(QS. Ali Imron: 104)
b.
Ajaran
Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
c.
Ajaran
Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura:
13).
d.
Ajaran
Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
e. Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif
(QS. Fushilat: 53)
5. Metode Deduktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara
menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah
itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
6. Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara
menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang
disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu.
Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat
dilakukan dengan empat tahap yaitu:
a. Adanya penjelasan dan penguaraian serta
menampilkan topik yang umum.
b. Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara
menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk
menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
c. Identifikasi masalah dengan mensistematisasi
unsur-unsurnya dan
d. Implikasi formulasi yang baru tersebut.
B.
Rumpun
Keilmuan Berdasarkan Filsafat Ilmu
Beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat ilmu adalah:[6]
1. Musa Asy’ari
Filsafat ilmu merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan
berubah. Dalam kaitan ini diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat ilmu
yang tidak hanya dialektik, pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian
tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
2.
Amin
Abdullah
Beliau berkata “saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa filsafat
Islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran muslim yang ditempeli
begitu saja dengan konsep filsafat Yunani”.
Berdasarkan pendapat di atas, filsafat dapat diketahui melalui lima
cirri, yaitu: dilihat dari segi sifat dan contohnya, dilihat dari segi ruang
lingkup pembahasannya, dilihat dari segi datangnya, dilihat dari segi yang
mengembangkannya, dan dilihat dari segi kedudukannya.
C. Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam
1. Studi Islam Lewat Pendekatan Filsafat
Studi Islam Interdisipliner merupakan
pengembangan dan penjabaran dari tiga topik yaitu pendekatan filsafat,
sosiologi dan sejarah yang penekanannya lebih diarahkan pada aspek aplikasinya.
Studi Islam lewat pendekatan filsafat menjabarkan tentang Iblis dan kontroversi
penafsiran klasik dan modern sebagai berikut:
Kontroversi penafsiran tentang iblis dalam
al-Quran berawal dari rencana Tuhan untuk menciptakan dan mempersiapkan seorang
khalifah di bumi. Dalam al-Qur’an surah Al-Baqoroh ayat 30-34, dijelaskan, kisah
iblis pada awalnya menggambarkan narasi penciptaan Adam yang oleh tuhan
dianggap sebagai “the only one caliph on the earth”. Amanah kekhalifahan
ini rupanya kurang mendapat simpatik di kalangan malaikat karena itu mereka
“memprotes” dan “menolak” kebijakan tersebut. Menurut Syeikh Musthafa
al-Maraghi, perbedaan persepsi di kalangan ulama mengenai ayat ini berkisar
pada dua hal: pertama, iblis adalah sejenis jin yang berada di tengah ribuan
malaikat, berbaur dengan sifat dari sebagian sifat mereka. Kedua, iblis itu
dari malaikat karena perintah sujud di sini tertuju pada malaikat karena zahir
ayat yang serupa bahwa ia tergolong mereka.
Dalam wacana tafsir klasik dan modern,
persoalan pertama yang muncul ketika memperbincangkan eksistensi iblis itu
adalah makna sujud, yasjudu. Terhadap kata ini semua mufasir baik klasik
dan modern sependapat bahwa makna kata sujud yang dimaksud adalah sujud tahiyyat,
penghormatan, bukan sujud dalam pengertian ibadah atau menghambakan diri pada
Adam. At-tabari dan ar-Razi menafsirkan kata iblis pada ayat yasjudu
berasal dari jenis malaikat. Mereka berpendapat demikian dengan alasan bahwa
kata “istisna”, semua malaikat sujud pada Adam kecuali iblis menunjukkan
makna bahwa iblis itu berasal dari jenis mereka (malaikat).[7]
2.
Studi
Islam Lewat Pendekatan Sosiologi
Salah satu implikasi teologis terhadap penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an dan hadist, sebagai contoh mengenai wanita. Wanita Islam dalam
kontekstual adalah munculnya rasa takut dan berdosa bagi kaum wanita bila ingin
“menggugat” dan menolak penafsiran atas diri mereka yang tidak hanya
disubordinasikan dari kaum laki-laki, tetapi juga dilecehkan hak dan
martabatnya. Akibatnya secara sosiologis mereka terpaksa menerima
kenyataan-kenyataan diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan,
terutama dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah karena
tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita separuh harga
laki-laki; ketiga, wanita boleh diperistri hingga empat; keempat: wanita tidak
bisa menjadi pemimpin negara.[8]
Dalam kejadian wanita, kata nafs pada surat An-nisa: 1,
tidak ditafsirkan Adam, seperti anggapan mufasir tradisional, sebab konteks
awal turunnya ayat ini tidak hanya bermaksud menolak atau mengklaim
tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih menganggap wanita sebagai makhluk yang
rendah dan hina, tapi juga sekaligus mengangkat harkat dan martabat mereka,
sebagaimana terlihat pada ayat sesudahnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
pemahaman yang sesuai dengan konteks ayat ini, maka kata nafs harus
ditafsirkan dengan jenis sebagaimana dipahami para mufasir modern, bahwa baik
laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jenis yang sama.
Dalam hal lain, ketika surat an-Nisa:3 berbicara tentang poligami
dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, peran inti yang dikemukakan
sebenarnya adalah keadilan bukan semata-mata pembatasan jumlah wanita yang
boleh dikawini laki-laki. Oleh karena itu tuntutan keadilan kualitatif beristri
pada saat ini adalah satu saja dan saling melengkapi bukan sebaliknya
melecehkan haknya. Hal yang sama berlaku ketika al-Qur’an surat an-Nisa’:7
berbicara tentang ketentuan waris untuk anak laki-laki dan wanita. Konteks masa
itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara laki-laki dan wanita, karena
wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tapi diwariskan dan al-Qur’an
mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang diterima laki-laki. Sekarang
konteksnya telah berbeda dimana wanita telah banyak diberikan hak dan kebebasan
oleh al-Qur’an.
Demikian pula terhadap persoalan tidak bolehnya wanita menjadi
kepala negara. Larangan ini bersumber dari hadist yang diriwayatkan Bukhori
ahmad nasa’I dan At-turmudzi tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat
sebagai pemimpin mereka seorang wanita “Berdasarkan konteks hadis tersebut maka
selama dalam suatu negara dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah,
seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu
oleh tenaga ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing yang pada akhirnya dapat
lebih mudah memajukan negaranya dan menyelamatkan dari mala petaka, maka tidak
ada halangan bagi seorang wanita menjadi menteri/kepala negara.
3.
Studi
Islam Lewat Pendekatan Sejarah
Pada abad XIX terjadi pergeseran kekuasaan. Runtuhnya kekuasaan
Islam telah mengubah hubungan Islam dengan barat. Pandangan umat Islam terhadap
barat dan tanggapan mereka terhadap kekuasaan dan gagasan barat sangat
variatif, mulai dari penolakan-konfrontatif hingga kekaguman dan peniruan.
Eropa tidak hanya datang dengan tentara dan birokratnya, tetapi juga bersama
para misionaris. Ancaman ganda kolonialisme adalah kekuasaan salib. Bantu
membantu antara para pendeta dengan pemerintah dan militer dinyatakan oleh
Marsekal Bugeud dari Perancis, bahwa para pendeta membantu kita mengambil hati
orang-orang Arab yang akan kita serbu dengan kekuatan militer. Kejadian yang
sama terjadi juga di Indonesia. Sikap Belanda terhadap Islam tidak tetap. Di
satu pihak, Islam dilihat sebagai agama dan katanya pemerintah netral dalam hal
ini. Sebaliknya pemerintah Belanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan
lebih banyak memberi kelonggaran kepada kalangan Kristen, termasuk bantuan
uang.[9]
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Islamic Studies
atau Pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua, seumur dengan
kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud
dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan
akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika Studi outsider
terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider
memunculkan model ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi
counter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan
landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang
bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya. Studi
Islam Interdisipliner merupakan metode pendekatan yang penekanannya lebih
diarahkan pada aspek aplikasinya, tetapi sekaligus menggambarkan betapa kajian
tentang Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru, bagi aplikasi metodologi
dari disiplin keilmuan lain.
[9] Khuailid, Pendekatan Sejarah
dalam Studi Islam (Makalah Metodologi Studi Islam), (Program PascaSarjana
STAIN Cirebon, 2009), h. 12
0 comments:
Post a Comment